Cakalele
Karya : Roro Purbaningrum S.
Hari ini sangat melelahkan.Kududukkan
diriku di sebuah kursi panjang di halaman belakang sekolah. Ku pikirkan apa
saja pelajaran yang telah ku dapatkan hari ini. Ku dongakkan kepalaku,menatap
langit yang kini terhiasi pelangi yang sudah agak pudar.Terlihat lantai dua
sebuah rumah yang sudah tak berpenghuni. Saat kepalaku agak turun,kulihat
parabola yang terhubung dengan sekolahku. Beberapa pohon mulai menunjukkan diri
dengan daun hijaunya.
Sekarang sudah waktunya pulang. Seperti biasa,aku
menunggu sahabatku untuk pulang bersama. Entah mengapa,hari ini ia lama sekali.
Sudah hampir 30 menit menunggu,ia tak kunjung menampakkan diri padahal kami
sama-sama pulang jam 1 siang.
“Jangan melamun terus”
Suara itu membuyarkan lamunanku.Kulihat wajah yang
sudah sangat kukenali, rupanya Gisela, sahabat yang tadi kutunggu. Ia memang
selalu begitu,mengagetkanku. Namun kekagetannya juga tak membuatku
terbiasa.Seperti yang terjadi sekarang, aku sangat terkejut mendengar suaranya.
“Mengapa selalu mengagetkanku,Detektif
Gisela?”,tanyaku dengan suara geram.
Iahanya bisa tertawa mendengar penuturanku. Ia
sekarang sangat senang telah membuatku terkejut.Perlahan-lahan aku juga ikut
menyunggingkan senyuman.
Namaku Nur Amanina,biasa dipanggil Nina. Dan dia
sahabatku yang sebenarnya sangat menyebalkan,Gisela Renata Anis. Kami sering
dipanggil ‘Detektif’.Itu karena kami sering memecahkan masalah di sekolah.Mulai
dari pencurian uang,warga sekolah yang hilang sampai kasus pembunuhan.
“Aku bosan tak ada kasus”
Baru kuucapkan kata-kata itu,seorang siswi
memberitahu kami bahwa ada sebuah kasus yang harus kami pecahkan. Dikabarkan
ada seorang siswa yang bernama Fadlan menghilang secara misterius. Fadlan
adalah siswa kelas 8-F, hanya beda kelas dariku yang berada di kelas 8-B. Siswi
itu juga menceritakan bahwa saat latihan tadi,Fadlan izin ke kamar mandi,tapi
tak kunjung kembali. Karena terlalu lama,akhirnya seorang temannya memeriksa ke
kamar mandi,tapi Fadlan tak ada di kamar mandi. Sebenarnya ini bukan kasus,
bisa saja Fadlan pergi ke tempat lain. Namun sudah dicari kemana-mana,Fadlan
belum ditemukan.
‘Kasus baru’, gumamku.
“Kenapa kamu ada di sini?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulutku saat kulihat
sesosok pria tinggi ada di halaman belakang sekolah.Aku ingin mengambil buku
yang tertinggal saat menunggu Gisela kemarin.
Ia hanya menunjukkan seulas senyum yang menawan.Senyuman
itu mengingatkanku pada seseorang. Fadlan, ia Fadlan yang kemarin hilang. Apa
yang ia lakukan di sini?
“Fadlan, kemarin kamu kemana?”
Lagi-lagi hanya dibalasnya dengan seulas senyuman,
senyuman yang berhasil membuat hatiku luluh.Kuakui sejak melihatnya saat MOS,
bisa dibilang aku mulai menyukainya.Memang terdengar aneh, namun itu yang
kurasakan.Perasaan itu yang membuatku berusaha menjaga jarak dengannya, karena
aku takut hatiku meledak saat bersamanya.
Ia menuntunku ke ruang seni tari yang letaknya tak
jauh dari halaman belakang sekolah. Ruang seni tari sengaja dibuat kedap suara
karena terkadang musik-musik yang mengiringi tarian mengganggu siswa lain. Ia
mulai menari Cakalele, tarian dari Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30
laki-laki dan perempuan. Sekarang ia hanya menarikannya sendiri tanpa sawalaku
(tameng). Permainannya sungguh luar biasa.Aku sudah mengetahui kemampuannya
dari dulu, sejak aku mulai tertarik padanya.Namun setiap aku melihatnya menari,
rasanya seperti pertama kali aku menyukainya dan rasa itu terus bertambah
seiring mataku yang selalu menatap wajahnya. Sesekali ia balas menatap mataku,
membuat pandangan kami saling bertemu. Kupalingkan pandanganku, pipiku mulai
memerah pertanda malu, ia hanya tersenyum memandangku yang semakin salah
tingkah.
Krrinngg… Krinngg…
Bel tanda masuk berbunyi.Ia menghentikan
penampilannya yang membuat jantungku berdetak tak teratur. Aku segera keluar
dari ruang itu sambil melambaikan tangan padanya.
“Nina, dari mana kamu?Aku mencarimu kemana-mana”,
ujar Gisela yang tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Ah, tadi aku mengambil buku yang tertinggal di
halaman belakang”, balasku.
“Kita harus menyelesaikan kasusnya Fadlan”
‘Fadlan belum kembali?Lalu siapa yang ada di ruang
seni tari tadi?Apa aku salah lihat?’
Segudang pertanyaakn menjalar di benakku.Aku bingung
sekarang.Apa yang sebenarnya terjadi?Apa tadi aku salah lihat? Bila benar,
mengapa terasa nyata?
***
Aku berjalan ke ruang seni tari saat istirahat.Tariannya
saat itu memotivasiku untuk berlatih Tari Cakalele.
“Apa kamu tertarik dengan tarian itu?”
Suara itu mengejutkanku.Fadlan menunggu jawabanku
sembari menatap dalam mataku.Sementara aku hanya mampu diam menahan malu.
“Ehmm, iya.Kenapa kamu ada di sini?Bukannya kamu
belum kembali sejak saat itu?”
“Rahasia”,ucapnya diiringi lengkungan yang terbentuk
di bibirnya.
‘Mengapa ia ada di sini?Aduh, aku jadi malu.’
Krrinngg… Krinngg…
‘Suara itu selalu datang di saat-saat seperti ini,
selalu mengganggu’, gerutuku dalam hati.
“Eh, sudah bel.Aku masuk kelas duluan ya?”
“Iya. Eh, apa nanti sore kamu mau latihan menari
Cakalele bersamaku di sini?”
“I..iya”, jawabku dengan malu malu.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan ruang seni tari.Aku
melihat Gisela yang meninggalkan halaman belakang sekolah.Aku segera
menghampirinya.
“Gisel, apa yang kamu lakukan di sini?”,tanyaku
dengan hati-hati.
Terlihat raut wajahnya yang terkejut, mungkin ia
terkejut dengan kehadiranku. Raut wajahnya yang semula gugup berangsur-angsur
normal.
“Bukan apa-apa”, jawabnya dengan nada yang
dipaksakan santai.
Kami pun berlari menuju kelas karena sekarang adalah
jamnya Pak Eko yang terkenal galak.
***
“Bukan begitu, tangannya harus seperti ini”, ujarnya
dengan memperagakan tarian Cakalele.
Aku pun mengikuti gerakannya yang diperlambat.Rupanya
latihan menari Cakalele itu tak semudah aku melihatnya menari.
“Terimakasih untuk hari ini”,ujar Fadlan.
“Hah? Bukannya aku yang harus berterima
kasih?”,tanyaku.
Pertanyaanku hanya dibalasnya senyuman yang berhasil
meluluhkan hatiku.
‘Aduh, kenapa ia malah tersenyum? Apa ia tak tahu
jika saat ini hatiku berdegub kencang?’,gumamku.
***
Aku dan Gisela menyusuri jalan menuju rumah kami
masing-masing.Kami memang bertetangga, maka dari itu kami bisa dekat.Suasana
hening, hanya terdengar suara hentakan kaki kami yang berjalan. Tak ada satu
pun diantara kami yang ingin memecah suasana itu, kami terlalu sibuk dengan
pikiran-pikiran yang mengerubungi
Selama ini, Gisela yang kukenal adalah orang yang
ceria. Namun entah mengapa akhir akhir ini ia jadi pendiam dan sering melamun.
Bahkan saat pelajaran Matematika, pelajaran kesukaannya.
“Sel, sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan di
halaman belakang sekolah?”, tanyaku membuyarkan keheningan yang terjadi.
“Tidak ada apa-apa”, jawabnya dengan lirih.
Aku tahu saat ini ia sedang berbohong. Selama tiga
tahun aku menjalin persahabatan dengannya, tak mungkin bila aku tak tahu ia
sedang berbohong sekarang. Namun mengapa ia tak memberi tahuku? Selama ini ia
akan mencurahkan isi hatinya kala sedih padaku, serahasia itukah masalah itu?
“Apa kamu belajar menari Cakalele?”, tanyanya
membuyarkan lamunanku.
“Iya”, jawabku dengan mantap.
“Bukankah Fadlan juga menarikan itu?Andai ia
kembali”, celetuknya.
“Iya”, jawabku singkat.
Kami terus bergurau menunggu habisnya jalan setapak
yang kami lewati.Setelah sampai, kami pun masuk ke dalam rumah masing-masing.
***
“Ah lelahnya”
Kurebahkan diriku di atas ranjang tidurku.Aku masih
hanyut dalam pikiran-pikiran yang memenuhi benakku.Tentu saja pikiran tentang
Fadlan.
Jika Fadlan belum kembali, mengapa ia ada di sekolahan
saat itu? Dan mengapa akhir-akhir ini Gisela bersikap aneh?Apa ruang seni tari
ada hubungannya dengan halaman belakang sekolah?
“Nin, ayo makam malam”
Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.Segera kuturuni
tangga dan bergabung dengan anggota keluargaku untuk makan malam.
***
“Apa kamu menyukai Fadlan?”, pertanyaaan itu
langsung terlontar dari bibirku.
“E..e..ee… Tidak”, jawabnya dengan gugup.
Aku sedang bersama Gisela di perpustakaan untuk
mencari jawaban dari soal yang diberikan oleh Pak Hasyin, guru seni tari kami.
Krrinngg… Krinngg…
“Aku pergi duluan ya?”
“Ehmm”, balasnya dengan mengangguk.
Aku pun meninggalkan perpustakaan dan berjalan
menuju ruang seni tari. Setiap jam istirahat, aku akan ke ruang seni tari untuk
berlatih tarian Cakalele bersama Fadlan.
Setelah sekitar 15 menit aku menunggu, Fadlan tak
kunjung datang.Kuputuskan untuk melihat halaman belakang sekolah.
Baru saja kubuka pintu ruang seni tari, kulihat
Gisela menuju halaman belakang.Aku pun mengikutinya.
Ia berhenti di gudang yang berada di halaman
belakang sekolah. Mengapa ia di sini? Kuputuskan untuk terus mengikutinya di
belakang.Aku menjaga jarak agar tak ketahuan.
“Maafkan aku….”
Kudengar suara rintihan seorang gadis.Aku yakin
suara itu adalah suara Gisela.
‘Apa yang menyebabkan ia merintih?’
Kudekatkan diriku ke sumber suara. Benar, tadi
adalah suara Gisela, tapi aku juga melihat ada orang lain. Orang itu tiduran di
pangkuan Gisela, wajahnya tak terlihat karena tertutupi oleh tubuh Gisela.
‘Tunggu, mengapa orang itu tak menjawab ucapan
Gisela?Apa ia tidur?’
Perlahan tapi pasti tubuh Gisela mulai tak menutupi
wajah orang tadi.Sekarang, aku sudah dapat melihat wajah orang itu.
‘ Sepertinya wajahnya tak asing. Itu adalah Fadlan,
aku yakin’
Kumantapkan kakiku mendekati Gisela.
“Sel, apa yang kamu lakukan?Kenapa ada Fadlan di
sini?”
Terlihat dari raut wajahnya bahwa ia terkejut,gugup
dan cemas. Ia malah menangis. Kugoncangkan tubuh Fadlan, namun tak ada reaksi
apapun darinya.
“Sel, apa yang kamu lakukan padanya? Mengapa ia tak
bergerak?”, tanyaku dengan suara yang bergetar.
Tangisannya semakin menjadi-jadi, seakan mengiyakan perkiraanku.
“Mengapa kau biarkan ia di sini? Atau…., jangan
bilang bahwa kamu yang melakukan ini”
Suaraku tambah bergetar mengetahui hal yang terjadi.
“Saat itu, ia berada di sini bersamaku. Selang
beberapa menit, asmanya kambuh”
Ucapan Gisela berhasil membuat jantungku seakan tak
berdegub.
“Mengapa tak kau ambilkan obatnya?”, tanyaku.
“Mengambilkan obat untuknya? Mengapa aku harus
melakukannya?”, tanyanya balik.
“Bukankah ia temanmu?”
“Teman?Aku sudah menyukainya sebelum kau
menyukainya. Tapi pada hari itu, ia berkata bahwa ia menyukaimu. Bayangkan jika
kau berada di posisiku”, jawabnya dengan meninggikan nada.
Aku hanya bisa terdiam setelah mendengar semuanya
dari Gisela.Mengapa aku tak merasakannya?Mengapa aku tak tahu bahwa Gisela
diam-diam menyukai Fadlan?
‘Fadlan, inikah maksudmu mengajariku tarian
Cakalele?Untuk membuka misteri kematianmu?Mengapa tak kau jelaskan pula bahwa
Gisela menyukaimu?Apa kau tak bisa meninggalkanku saja dan bahagia bersama
Gisela? Tarian Cakalele, aku akan terus mengingatnya sebagai kenangan terindah
kita.Tapi berjanjilah, di kehidupan mendatang jangan lagi kau sakiti hati
Gisela.Tinggalkan saja aku dan bahagia bersamanya.Jangan biarkan aku mengganggu
hidupmu dan menjadi alasan kematianmu lagi.’