animasi bergerak gif

Jumat, 08 Januari 2016

Sweet Memories





Author: Shin SooY
Rating: PG 15
Length: Drabble
Genre: Romance, Drama, Fluff
Main Cast: Han Yoonju (OC), Lee Donghae (SJ)
Support Cast: Find by yourself
Disclaimer: Semua cast milik orang tua mereka dan Tuhan YME. But this story is mine. Don’t be plagiator, because I spended much times to write this story. Happy reading and sorry about typo’s.
Happy reading all ^^
---
Author POV
            Derap langkah terdengar mengikuti tiap pergerakan yeoja itu. Setiap langkah semakin cepat, cepat dan cepat, yeoja itu kini berlari karena menyadari adanya seseorang yang sedang mengikutinya. Ia mencengkeram dress peach selututnya, jangan lupakan dengan keringat dingin yang mulai membasahi tubuh kecilnya. Ia meruntuki kaki pendeknya yang tak dapat membuat jarak yang jauh dengan seseorang yang mengikutinya. Ia bahkan melupakan air mata yang sedari tadi mengalir deras di pipi mulusnya.
            Seseorang itu semakin dekat, dekat. Ia menggapai pergelangan tangan gadis itu dan mencengkeramnya dengan erat.
Author POV End

Yoonju POV
            Gila! Ini sangat gila. Apa yang harus kulakukan sekarang? Ia berada di dekatku, bahkan mataku tertutup karena tak ingin melihat wajahnya. Tak bisakah aku menghilang saja? Aku ingin menghindar dari namja yang tengah memegang tanganku sekarang.
            “Yoon-ah, apa yang terjadi? Mengapa kau buru-buru?”
            “Donghae-ah, aku sibuk”
            Kulepas paksa tangannya yang mencengkeram tanganku, aku tak peduli jika tanganku harus luka asalkan aku bisa pergi dari sini.
            Tapi cengkeraman tangannya semakin menguat hingga tanpa sadar aku meringis. Ayolah apa ia tak tahu bila moodku sedang tidak baik? Aku tak ingin ia melihatku saat ini.
            “Yoon-ah, kau tidak sedang cemburu kan?”, ucap Donghae.
            Cukup! Aku sudah tak tahan lagi. Ia bahkan jelas jelas memeluk yeoja lain di depanku! Lalu ia anggap aku ini apa?
Yoonju POV End

Author POV
            Suasana menjadi hening hingga waktu yang lama. Tak ada satupun dari mereka yang ingin memulai pengakuan dari perasaannya. Jinjja! Apakah mereka akan terus seperti ini?
            “Hae-ah”
            Akhirnya Yoonju membuka suara. Ia benar benar butuh penjelasan. Ia pikir Donghae akan menjelaskan panjang lebar tentang wanita itu, tetapi Donghae justru memilih bungkam membiarkan Yoonju sibuk dengan pemikirannya yang semakin tak masuk akal.
            “Hae-ah”
            Yoonju menyeruakkan nama namja di depannya yang kedua kalinya. Ia mendongakkan wajahnya, berusaha menatap mata teduh Donghae.
            Merasa tak ada respon, ia berniat meninggalkan tempat ini. Benar benar meninggalkan.
            Yoonju telah membalikkan badannya, tak lupa dengan air mata yang masih dengan setianya mengalir seakan tak akan habis. Tiba-tiba sepasang tangan melingkar di pinggangnya. Ia bahkan terlalu terkejut hingga melebarkan mata dan menahan nafasnya.
            “Lepaskan, Hae”, ujar Yoonju lirih.
            Namja yang dipanggil namanya itu justru membalikkan tubuh Yonnju sehingga mereka berhadapan. Ibu jarinya digunakan untuk menghapus air mata di pipi yeojanya.
            Donghae tersenyum kecil. Hey apa ia tak tahu perasaan yeojanya saat ini? Ia bahkan terlihat senang menatap wajah yeojanya yang menangis karena cemburu padanya. Donghae menarik halus pinggang Yoonju, membiarkan yeoja yang dicintainya menangis terisak di dadanya yang bidang. Ia bahkan mengelus punggung Yoonju sembari memberikan kecupan kecupan kecil di kepala Yoonju.
            “Babe”
            “Honey”
            Mendengar suara Donghae seperti mendengarkan lagu terindah di dunia. Yoonju tak dapat membayangkan betapa sakit dan rindunya bila ia tak mendengar suara itu sehari saja. Perlahan air mata yang keluar dari matanya mulai berhenti. Menikmati hangat tubuh namjanya mungkin untuk yang terakhir kali. Ia ingin menyimpan kehangatan dada bidang Donghae agar ia selalu hangat meski tanpa Donghae.
            “Yoon-ah”
“Kau lupa jika itu noonanya Kyuhyun?”, ujar Donghae pelan dengan tawa kecil.
            Air yang keluar dari mata Yoonju seketika berhenti.
Bodoh! Sekarang siapa yang terlihat memalukan?
            .
            .


~Fin~
            Gimana readers? Kurang dapatkah feelnya?
            Aaaa maafin Author T.T lagi minim inspirasi. Adakah yang mau bantu Author buat ide Fanfic selanjutnya? Hmmm itung itung buat panjangin Fanfic jadi Oneshoot gitu (?) Hehe
            Gomawo all
            Always support Author OK? ^^

Senin, 15 Desember 2014

Cerpen Kebudayaan

Cakalele
Karya   : Roro Purbaningrum S.

Hari ini sangat melelahkan.Kududukkan diriku di sebuah kursi panjang di halaman belakang sekolah. Ku pikirkan apa saja pelajaran yang telah ku dapatkan hari ini. Ku dongakkan kepalaku,menatap langit yang kini terhiasi pelangi yang sudah agak pudar.Terlihat lantai dua sebuah rumah yang sudah tak berpenghuni. Saat kepalaku agak turun,kulihat parabola yang terhubung dengan sekolahku. Beberapa pohon mulai menunjukkan diri dengan daun hijaunya.
Sekarang sudah waktunya pulang. Seperti biasa,aku menunggu sahabatku untuk pulang bersama. Entah mengapa,hari ini ia lama sekali. Sudah hampir 30 menit menunggu,ia tak kunjung menampakkan diri padahal kami sama-sama pulang jam 1 siang.
“Jangan melamun terus”
Suara itu membuyarkan lamunanku.Kulihat wajah yang sudah sangat kukenali, rupanya Gisela, sahabat yang tadi kutunggu. Ia memang selalu begitu,mengagetkanku. Namun kekagetannya juga tak membuatku terbiasa.Seperti yang terjadi sekarang, aku sangat terkejut mendengar suaranya.
“Mengapa selalu mengagetkanku,Detektif Gisela?”,tanyaku dengan suara geram.
Iahanya bisa tertawa mendengar penuturanku. Ia sekarang sangat senang telah membuatku terkejut.Perlahan-lahan aku juga ikut menyunggingkan senyuman.
Namaku Nur Amanina,biasa dipanggil Nina. Dan dia sahabatku yang sebenarnya sangat menyebalkan,Gisela Renata Anis. Kami sering dipanggil ‘Detektif’.Itu karena kami sering memecahkan masalah di sekolah.Mulai dari pencurian uang,warga sekolah yang hilang sampai kasus pembunuhan.
“Aku bosan tak ada kasus”
Baru kuucapkan kata-kata itu,seorang siswi memberitahu kami bahwa ada sebuah kasus yang harus kami pecahkan. Dikabarkan ada seorang siswa yang bernama Fadlan menghilang secara misterius. Fadlan adalah siswa kelas 8-F, hanya beda kelas dariku yang berada di kelas 8-B. Siswi itu juga menceritakan bahwa saat latihan tadi,Fadlan izin ke kamar mandi,tapi tak kunjung kembali. Karena terlalu lama,akhirnya seorang temannya memeriksa ke kamar mandi,tapi Fadlan tak ada di kamar mandi. Sebenarnya ini bukan kasus, bisa saja Fadlan pergi ke tempat lain. Namun sudah dicari kemana-mana,Fadlan belum ditemukan.
‘Kasus baru’, gumamku.
***
“Kenapa kamu ada di sini?”
Pertanyaan itu terlontar dari mulutku saat kulihat sesosok pria tinggi ada di halaman belakang sekolah.Aku ingin mengambil buku yang tertinggal saat menunggu Gisela kemarin.
Ia hanya menunjukkan seulas senyum yang menawan.Senyuman itu mengingatkanku pada seseorang. Fadlan, ia Fadlan yang kemarin hilang. Apa yang ia lakukan di sini?
“Fadlan, kemarin kamu kemana?”
Lagi-lagi hanya dibalasnya dengan seulas senyuman, senyuman yang berhasil membuat hatiku luluh.Kuakui sejak melihatnya saat MOS, bisa dibilang aku mulai menyukainya.Memang terdengar aneh, namun itu yang kurasakan.Perasaan itu yang membuatku berusaha menjaga jarak dengannya, karena aku takut hatiku meledak saat bersamanya.
Ia menuntunku ke ruang seni tari yang letaknya tak jauh dari halaman belakang sekolah. Ruang seni tari sengaja dibuat kedap suara karena terkadang musik-musik yang mengiringi tarian mengganggu siswa lain. Ia mulai menari Cakalele, tarian dari Maluku yang dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Sekarang ia hanya menarikannya sendiri tanpa sawalaku (tameng). Permainannya sungguh luar biasa.Aku sudah mengetahui kemampuannya dari dulu, sejak aku mulai tertarik padanya.Namun setiap aku melihatnya menari, rasanya seperti pertama kali aku menyukainya dan rasa itu terus bertambah seiring mataku yang selalu menatap wajahnya. Sesekali ia balas menatap mataku, membuat pandangan kami saling bertemu. Kupalingkan pandanganku, pipiku mulai memerah pertanda malu, ia hanya tersenyum memandangku yang semakin salah tingkah.
Krrinngg… Krinngg…
Bel tanda masuk berbunyi.Ia menghentikan penampilannya yang membuat jantungku berdetak tak teratur. Aku segera keluar dari ruang itu sambil melambaikan tangan padanya.
“Nina, dari mana kamu?Aku mencarimu kemana-mana”, ujar Gisela yang tiba-tiba muncul di hadapanku.
“Ah, tadi aku mengambil buku yang tertinggal di halaman belakang”, balasku.
“Kita harus menyelesaikan kasusnya Fadlan”
‘Fadlan belum kembali?Lalu siapa yang ada di ruang seni tari tadi?Apa aku salah lihat?’
Segudang pertanyaakn menjalar di benakku.Aku bingung sekarang.Apa yang sebenarnya terjadi?Apa tadi aku salah lihat? Bila benar, mengapa terasa nyata?
***
Aku berjalan ke ruang seni tari saat istirahat.Tariannya saat itu memotivasiku untuk berlatih Tari Cakalele.
“Apa kamu tertarik dengan tarian itu?”
Suara itu mengejutkanku.Fadlan menunggu jawabanku sembari menatap dalam mataku.Sementara aku hanya mampu diam menahan malu.
“Ehmm, iya.Kenapa kamu ada di sini?Bukannya kamu belum kembali sejak saat itu?”
“Rahasia”,ucapnya diiringi lengkungan yang terbentuk di bibirnya.
‘Mengapa ia ada di sini?Aduh, aku jadi malu.’
Krrinngg… Krinngg…
‘Suara itu selalu datang di saat-saat seperti ini, selalu mengganggu’, gerutuku dalam hati.
“Eh, sudah bel.Aku masuk kelas duluan ya?”
“Iya. Eh, apa nanti sore kamu mau latihan menari Cakalele bersamaku di sini?”
“I..iya”, jawabku dengan malu malu.
Kulangkahkan kakiku meninggalkan ruang seni tari.Aku melihat Gisela yang meninggalkan halaman belakang sekolah.Aku segera menghampirinya.
“Gisel, apa yang kamu lakukan di sini?”,tanyaku dengan hati-hati.
Terlihat raut wajahnya yang terkejut, mungkin ia terkejut dengan kehadiranku. Raut wajahnya yang semula gugup berangsur-angsur normal.
“Bukan apa-apa”, jawabnya dengan nada yang dipaksakan santai.
Kami pun berlari menuju kelas karena sekarang adalah jamnya Pak Eko yang terkenal galak.
***
“Bukan begitu, tangannya harus seperti ini”, ujarnya dengan memperagakan tarian Cakalele.
Aku pun mengikuti gerakannya yang diperlambat.Rupanya latihan menari Cakalele itu tak semudah aku melihatnya menari.
“Terimakasih untuk hari ini”,ujar Fadlan.
“Hah? Bukannya aku yang harus berterima kasih?”,tanyaku.
Pertanyaanku hanya dibalasnya senyuman yang berhasil meluluhkan hatiku.
‘Aduh, kenapa ia malah tersenyum? Apa ia tak tahu jika saat ini hatiku berdegub kencang?’,gumamku.
***
Aku dan Gisela menyusuri jalan menuju rumah kami masing-masing.Kami memang bertetangga, maka dari itu kami bisa dekat.Suasana hening, hanya terdengar suara hentakan kaki kami yang berjalan. Tak ada satu pun diantara kami yang ingin memecah suasana itu, kami terlalu sibuk dengan pikiran-pikiran yang mengerubungi
Selama ini, Gisela yang kukenal adalah orang yang ceria. Namun entah mengapa akhir akhir ini ia jadi pendiam dan sering melamun. Bahkan saat pelajaran Matematika, pelajaran kesukaannya.
“Sel, sebenarnya apa yang sedang kamu lakukan di halaman belakang sekolah?”, tanyaku membuyarkan keheningan yang terjadi.
“Tidak ada apa-apa”, jawabnya dengan lirih.
Aku tahu saat ini ia sedang berbohong. Selama tiga tahun aku menjalin persahabatan dengannya, tak mungkin bila aku tak tahu ia sedang berbohong sekarang. Namun mengapa ia tak memberi tahuku? Selama ini ia akan mencurahkan isi hatinya kala sedih padaku, serahasia itukah masalah itu?
“Apa kamu belajar menari Cakalele?”, tanyanya membuyarkan lamunanku.
“Iya”, jawabku dengan mantap.
“Bukankah Fadlan juga menarikan itu?Andai ia kembali”, celetuknya.
“Iya”, jawabku singkat.
Kami terus bergurau menunggu habisnya jalan setapak yang kami lewati.Setelah sampai, kami pun masuk ke dalam rumah masing-masing.
***
“Ah lelahnya”
Kurebahkan diriku di atas ranjang tidurku.Aku masih hanyut dalam pikiran-pikiran yang memenuhi benakku.Tentu saja pikiran tentang Fadlan.
Jika Fadlan belum kembali, mengapa ia ada di sekolahan saat itu? Dan mengapa akhir-akhir ini Gisela bersikap aneh?Apa ruang seni tari ada hubungannya dengan halaman belakang sekolah?
“Nin, ayo makam malam”
Ucapan Bunda membuyarkan lamunanku.Segera kuturuni tangga dan bergabung dengan anggota keluargaku untuk makan malam.
***
“Apa kamu menyukai Fadlan?”, pertanyaaan itu langsung terlontar dari bibirku.
“E..e..ee… Tidak”, jawabnya dengan gugup.
Aku sedang bersama Gisela di perpustakaan untuk mencari jawaban dari soal yang diberikan oleh Pak Hasyin, guru seni tari kami.
Krrinngg… Krinngg…
“Aku pergi duluan ya?”
“Ehmm”, balasnya dengan mengangguk.
Aku pun meninggalkan perpustakaan dan berjalan menuju ruang seni tari. Setiap jam istirahat, aku akan ke ruang seni tari untuk berlatih tarian Cakalele bersama Fadlan.
Setelah sekitar 15 menit aku menunggu, Fadlan tak kunjung datang.Kuputuskan untuk melihat halaman belakang sekolah.
Baru saja kubuka pintu ruang seni tari, kulihat Gisela menuju halaman belakang.Aku pun mengikutinya.
Ia berhenti di gudang yang berada di halaman belakang sekolah. Mengapa ia di sini? Kuputuskan untuk terus mengikutinya di belakang.Aku menjaga jarak agar tak ketahuan.
“Maafkan aku….”
Kudengar suara rintihan seorang gadis.Aku yakin suara itu adalah suara Gisela.
‘Apa yang menyebabkan ia merintih?’
Kudekatkan diriku ke sumber suara. Benar, tadi adalah suara Gisela, tapi aku juga melihat ada orang lain. Orang itu tiduran di pangkuan Gisela, wajahnya tak terlihat karena tertutupi oleh tubuh Gisela.
‘Tunggu, mengapa orang itu tak menjawab ucapan Gisela?Apa ia tidur?’
Perlahan tapi pasti tubuh Gisela mulai tak menutupi wajah orang tadi.Sekarang, aku sudah dapat melihat wajah orang itu.
‘ Sepertinya wajahnya tak asing. Itu adalah Fadlan, aku yakin’
Kumantapkan kakiku mendekati Gisela.
“Sel, apa yang kamu lakukan?Kenapa ada Fadlan di sini?”
Terlihat dari raut wajahnya bahwa ia terkejut,gugup dan cemas. Ia malah menangis. Kugoncangkan tubuh Fadlan, namun tak ada reaksi apapun darinya.
“Sel, apa yang kamu lakukan padanya? Mengapa ia tak bergerak?”, tanyaku dengan suara yang bergetar.
Tangisannya semakin menjadi-jadi, seakan mengiyakan perkiraanku.
“Mengapa kau biarkan ia di sini? Atau…., jangan bilang bahwa kamu yang melakukan ini”
Suaraku tambah bergetar mengetahui hal yang terjadi.
“Saat itu, ia berada di sini bersamaku. Selang beberapa menit, asmanya kambuh”
Ucapan Gisela berhasil membuat jantungku seakan tak berdegub.
“Mengapa tak kau ambilkan obatnya?”, tanyaku.
“Mengambilkan obat untuknya? Mengapa aku harus melakukannya?”, tanyanya balik.
“Bukankah ia temanmu?”
“Teman?Aku sudah menyukainya sebelum kau menyukainya. Tapi pada hari itu, ia berkata bahwa ia menyukaimu. Bayangkan jika kau berada di posisiku”, jawabnya dengan meninggikan nada.
Aku hanya bisa terdiam setelah mendengar semuanya dari Gisela.Mengapa aku tak merasakannya?Mengapa aku tak tahu bahwa Gisela diam-diam menyukai Fadlan?
‘Fadlan, inikah maksudmu mengajariku tarian Cakalele?Untuk membuka misteri kematianmu?Mengapa tak kau jelaskan pula bahwa Gisela menyukaimu?Apa kau tak bisa meninggalkanku saja dan bahagia bersama Gisela? Tarian Cakalele, aku akan terus mengingatnya sebagai kenangan terindah kita.Tapi berjanjilah, di kehidupan mendatang jangan lagi kau sakiti hati Gisela.Tinggalkan saja aku dan bahagia bersamanya.Jangan biarkan aku mengganggu hidupmu dan menjadi alasan kematianmu lagi.’